WahanaNews-Langkat.co | Setelah ditemukan oleh tim KPK beberapa hari lalu, kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin menyita banyak perhatian publik.
Seperti diketahui, KPK telah menangkap Terbit terkait dugaan kasus tindak pidana korupsi pekan lalu di wilayah kabupaten Sumatera Utara itu.
Baca Juga:
Peneliti: Jika Kerangkeng Manusia di Langkat Bukan Tempat Rehab, Mengapa Didiamkan
Namun, soal temuan kerangkeng di rumah bupati itu oleh tim penyidik KPK kemudian terkuak ke publik setelah Migrant Care yang menaruh perhatian pada nasib tenaga kerja, utamanya buruh migran mengadukan hal tersebut ke Komnas HAM awal pekan ini.
Selang berjalan baru muncul polemik mengenai fungsi kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana yang juga dikenal sebagai pengusaha perkebunan sawit itu.
Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak menyebut kerangkeng digunakan oleh Terbit untuk tempat rehabilitasi para pecandu narkoba yang sudah berlangsung selama 10 tahun. Meski demikian, tempat tersebut tidak mengantongi izin.
Baca Juga:
Polisi Menyebutkan Ada 3 Korban Meninggal di Kerangkeng Manusia Langkat
Sementara Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan kerangkeng di rumah Bupati Langkat bukan tempat rehabilitasi karena tak memenuhi persyaratan.
"Bukan [tempat] rehabilitasi. Sejak awal BNN sudah menyatakan itu bukan tempat rehabilitasi. Satu persyaratan pun enggak terpenuhi," kata Karo Humas dan Protokol BNN Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono saat dihubungi, Rabu (25/1).
Sulistyo mengatakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi rehabilitasi antara lain izin terkait lokasi, izin dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial, hingga soal syarat material.
Tempat rehabilitasi juga harus menyiapkan dan memiliki program dalam rangka penanganan pecandu narkoba.
BNN Kabupaten Langkat juga mengaku masih melakukan asesmen untuk memulangkan warga yang tinggal di kerangkeng.
Sementara itu Migrant Care dan juga sejumlah LSM pemerhati hak asasi manusia lainnya menduga kerangkeng itu adalah modus perbudakan, dan dalih tempat rehabilitasi narkoba hanya kedok untuk menghindari hukuman.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah mengatakan hal tersebut sebab sejauh ini pihak BNN belum membenarkan bahwa kerangkeng digunakan untuk keperluan rehabilitasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pelaku praktik perbudakan modern bisa dipenjara maksimal 15 tahun penjara dan denda minimal Rp120 juta maksimal Rp600 juta.
Migrant Care menduga Bupati Langkat menghindari hukuman ini dengan dalih menggunakan kerangkeng sebagai tempat rehabilitasi narkoba.
"Jadi kerangkeng itu tetap bentuk perbudakan modern, meski katanya buat rehabilitasi narkoba," tutur Anis saat dihubungi, Rabu.
Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mendorong Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin mendapat hukuman seberat-beratnya terkait dugaan tipikor dan perbudakan.
Deputi V KSP Jaleswari Pramowardhani mengaku tidak bisa membayangkan dugaan perbudakan itu telah terjadi selama bertahun-tahun. Dia juga tidak percaya hal itu bisa dilakukan di tahun 2022.
"Kantor Staf Presiden (KSP) mengutuk keras adanya dugaan praktik perbudakan oleh tersangka korupsi Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Kami akan memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat-beratnya," kata Jaleswari dalam keterangan tertulis, Selasa (25/1).
Terkait aktivitas sehari-hari Jefri juga mengaku diberi upah karena ia bekerja di sana. "Saya digaji, saya kan kerja," ujarnya.
Sementara Freddy mengatakan ia melakukan aktivitas seperti orang pada umumnya di tempat tersebut.
"Aktivitas sehari-hari seperti mencuci baju, menyapu halaman sekitar tempat itu, olahraga kadang-kadang," ujar Freddy. [jef]