WahanaNews Langkat | Advokat empat eks kader Partai Demokrat, Yusril Ihza Mahendra, menyinggung produk hukum pada masa pemerintahan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dia menyebut, dua Undang-Undang (UU) era SBY, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dipakainya untuk menggugat AD/ART Partai Demokrat, sebagai produk rezim pengikut Adolf Hitler.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Hal itu disampaikan Yusril merespons pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, yang menuding dirinya menggunakan pendekatan hukum Adolf Hitler atau totalitarian terkait gugatan AD/ART ke Mahkamah Agung (MA).
"Jadi kalau saya mengujinya itu dengan dua Undang-Undang ini, yang Hitler itu siapa, saya atau Pak SBY? Jadi saya uji pakai Undang-Undang Hitler dan Undang-Undang Hitler itu dibikin sama siapa, ya sama Pak SBY dan Benny Harman di dalamnya," katanya, saat wawancara khusus dengan wartawan, Rabu (13/10/2021).
"Saya balik bertanya kepada Benny Harman, anda ini ngomong bisa jadi kejebak sendiri karena saya uji ini pakai UU yang dibuat Pak SBY, berarti yang hitler itu ya Pak SBY itu sendiri. Itu konsekuensi dari omongan anda sendiri," imbuhnya.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Yusril menegaskan, Benny K Harman tidak memiliki pijakan intelektual dengan menyatakan negara memaksakan kehendak terkait polemik Partai Demokrat.
Dia menegaskan, AD/ART Partai Demokrat diuji bukan atas kehendak penguasa.
Sebab, jika mengacu pada omongan Benny soal pola pikir Hitler, maka ada campur tangan negara dalam gugatan AD/ART Demokrat.
"Tiba-tiba saya sekarang ini dituduh sebagai Nazi. Itu bagi saya sesuatu yang agak mencengangkan, jangan-jangan yang menuduh ini sama sekali tidak pernah belajar tentang Nazi, cuma dengar-dengar saja kata orang, kata orang, begitu," ucapnya.
"Jadi saya pikir ini mengada ngada saja karena saya tidak juga menguji ini dengan kehendak penguasa, pengusasa yang mana, Jokowi maksudnya? Saya juga tidak menjadi bagian dari Jokowi, saya bukan orang pemerintah, saya berada di luar pemerintah," tandasnya.
Hamdan Sebut Gugatan Yusril Tak Lazim
Gugatan AD/ART Partai Demokrat yang diajukan kuasa hukum Demokrat kubu Moeldoko, Yusril Ihza Mahendra, ke Mahkamah Agung (MA), masih menjadi sorotan publik.
Kini, kuasa hukum Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Hamdan Zoelva, ikut buka suara menanggapi gugatan tersebut.
Menurut Hamdan, permohonan gugatan AD/ART tersebut tidak lazim.
Pasalnya, AD/ART bukan merupakan produk hukum, jadi norma hukum tersebut hanya mengikat anggota partai saja.
"Kalau kita baca Pasal 1 butir 2 UU Nomor 12 Tahun 2011, ini dikenal dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau disingkat UU PPP," katanya.
"Tentang peraturan perundang-undangan, memberi batasan tentang peraturan perundang-undangan," sambung Hamdan, dalam keterangan yang diterima media, Senin (11/10/2021).
Dari batasan itu, Hamdan mengatakan, AD/ART partai politik jelas bukan peraturan perundang-undangan, sebab bukan norma hukum yang mengikat secara umum.
"Dia hanya mengikat PD dan anggotanya, tidak mengikat keluar. Jadi dalam batasan pengertian ini tidak termasuk peraturan perundang-undangan," tambahnya.
Lebih lanjut, Hamdan menyebut AD/ART partai politik tidak ditetapkan oleh lembaga negara.
AD/ART ditetapkan oleh partai politik melalui para pendiri partai dan peserta kongres.
"Sejak kapan partai politik adalah lembaga negara dan pejabat yang berwenang, tetapi ditetapkan oleh partai politik yang bersangkutan yaitu para pendiri partai atau peserta kongres," jelasnya.
Dari sanalah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mengatakan hal-hal tersebut menjadi alasan kliennya mengajukan diri sebagai pihak tergugat intervensi dalam gugatan AD/ART yang diajukan KLB kubu Moeldoko.
"PD merasa sangat berkepentingan secara langsung atas permohonan tersebut, karena objek yang dimohonkan untuk uji materi adalah AD/ART PD," jelasnya.
Yusril Disebut Pakai Cara Hitler
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat (PD), Benny Kabur Harman, menduga, Yusril Ihza Mahendra mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) terkait AD/ART Partai Demokrat memakai cara pikir Adolf Hitler.
"Setelah kami menyelidiki asal usul teori yang dipakai atau yang digunakan oleh Yusril Ihza di dalam mengajukan permohonan JR AD/ART ke Mahkamah Agung," katanya.
"Maka, diduga kuat cara pikir ini berasal dari cara pikir totalitarian ala Hitler," lanjut Benny dalam jumpa pers di DPP Partai Demokrat, Jakpus, Senin (11/10/2021).
Dia menjelaskan secara ringkas cara pikir Adolf Hitler yang menjadi pimpinan Nazi.
Judicial Review AD/ART yang diajukan dinilai oleh Yusril ingin menguji apakah negara senang atau tidak dengan organisasi sipil.
"Dalam cara pikir hukum Hitler, itu yang dikehendaki oleh negara harus diikuti oleh semua organisasi sipil," katanya.
Dalam hal ini, Benny mengatakan, Yusril mencoba untuk menguji apakah kehendak anggota-anggota partai politik, termasuk anggota Partai Demokrat sejalan dengan kehendak kemauan negara.
"Semua yang dilakukan oleh rakyat harus diuji, apakah negara senang atau tidak senang, dan ini yang mau dilakukan oleh Yusril," tambah Legislator Komisi III DPR RI ini.
Dia bahkan meragukan apa yang selama ini disampaikan Yusril untuk mengajukan gugatan sebagai atas nama demokrasi.
"Dalam kaitan dengan itu, kami menduga yang dilakukan Yusril ini tidak bersifat nonpartisan, kalau dia mendengung-dengungkan atas nama demokrasi, tidak," katanya.
"Dia bekerja atas nama hidden power, ada invisible power yang bekerja dengan tujuan untuk mencaplok Partai Demokrat secara ilegal atas nama hukum dan atas nama demokrasi. Tidak ada penjelasan lain," jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, advokat Yusril Ihza Mahendra dan Yuri Kemal Fadlullah membenarkan bahwa kantor hukum mereka, IHZA & IHZA LAW FIRM SCBD-BALI OFFICE, mewakili kepentingan hukum empat orang anggota Partai Demokrat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.
Judicial Review dimaksud meliputi pengujian formil dan materil terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/RT) Partai Demokrat Tahun 2020 yang telah disahkan Menkumham tanggal 18 Mei 2020.
Oleh karena AD/ART sebuah parpol baru dinyatakan sah dan belaku setelah disahkan Menkumham, maka Termohon dalam perkara pengujian AD/ART Partai Demokrat Menteri Hukum dan HAM.
Yusril dan Yuri mengatakan bahwa langkah menguji formil dan materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia.
Keduanya mendalilkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan Undang-Undang Partai Politik.
"Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya?" kata Yusril dalam keterangannya, Kamis (23/9/2021). [non]