WahanaNews-Langkat | Dokumen internal Facebook, yang disebut sebagai Facebook Papers, bocor.
Dokumen ini memberikan pandangan mendalam mengenai budaya internal Facebook, pendekatan yang dilakukan terhadap misinformasi dan moderasi ujaran kebencian, penelitian riset dari algoritma linimasa berita, hingga komunikasi internal.
Baca Juga:
Kalimantan Selatan Tuan Rumah, Ini Arti dan Makna Logo Resmi HPN 2025
Sebelumnya, dokumen setebal lebih dari 10 ribu halaman ini diserahkan ke Komisi Sekuritas dan Bursa di Amerika Serikat (AS) sebagai bukti dan ke Kongres.
Dokumen internal yang diberikan kepada Kongres berupa dokumen yang sudah disunting dan ditinjau ulang oleh konsorsium 17 organisasi pers di AS, termasuk CNN.
Dokumen-dokumen ini dikumpulkan oleh pelapor sekaligus whistleblower masalah internal Facebook, Frances Haugen.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Lewat kuasa hukum, Haugen --yang merupakan mantan karyawan Facebook-- menyerahkan lebih dari sepuluh ribu halaman dokumen internal Facebook sebagai barang bukti.
Dalam kesaksiannya di Kongres awal bulan ini, Haugen mengatakan: "Produk Facebook membahayakan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi kita."
"Kepemimpinan perusahaan tahu bagaimana membuat Facebook dan Instagram lebih aman tetapi tidak akan membuat perubahan yang diperlukan karena mereka telah menempatkan keuntungan astronomis mereka di atas orang-orang. Tindakan kongres diperlukan. Mereka tidak akan menyelesaikan krisis ini tanpa bantuan Anda," tambahnya, seraya mendesak anggota parlemen untuk mengambil tindakan.
Dia menekankan bahwa dia maju ke depan "dengan risiko pribadi yang besar", karena dia percaya "kita masih punya waktu untuk bertindak. Tapi kita harus bertindak sekarang."
Dokumen itu mengungkap bagaimana Facebook telah menyadari terjadi perdagangan manusia untuk pembantu rumah tangga lewat platform-nya sejak 2018.
Masalah ini semakin parah di 2019, sehingga membuat Apple akan memblokir Facebook dan Instagram dari App Store.
Usai ancaman itu, pegawai Facebook baru segera menurunkan konten bermasalah tersebut untuk menghindari masalah "besar" bagi bisnis perusahaan.
Dokumen itu juga mengungkap bagaimana karyawan Facebook juga disebut berulang kali telah memprotes perusahaan atas kegagalan mengekang penyebaran konten yang menghasut kekerasan di negara-negara "berisiko" seperti Ethiopia dan Amerika Serikat, seperti dilaporkan CNN.
Selain itu, meski Facebook mengetahui bagaimana gerakan untuk menerobos Gedung Putih diorganisasikan secara online, namun mereka tidak siap untuk menghentikan gerakan Stop the Steal itu.
Gerakan itu memang telah menggunakan platform Facebook untuk mengatur, dan menggerakkan pemberontakan, yang berujung kekerasan.[non]